Kisah Sujiati, Sang ‘Kartini Sawah’ di Kursi Legislatif Penajam Paser Utara

oleh -77 Dilihat
oleh

READIN.ID – PENAJAM – Di tengah hamparan sawah dan ladang yang menjadi denyut nadi kehidupan, terselip kisah inspiratif seorang perempuan yang menjelma menjadi suara rakyat di parlemen daerah. Sujiati, nama yang mungkin tak asing bagi masyarakat Penajam Paser Utara (PPU), adalah politisi perempuan yang tak hanya vokal menyuarakan aspirasi petani, tetapi juga tumbuh langsung dari akar rumput kehidupan mereka. Sosok sederhana ini kini menjadi penyambung lidah rakyat, membuktikan bahwa ketulusan, kerja keras, dan pendidikan tak akan mengkhianati hasil.

Lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada 7 Juli 1973, Sujiati kecil merantau ke Kalimantan Timur bersama keluarganya saat berusia empat tahun demi mencari kehidupan yang lebih baik. Di tanah baru inilah, kisah perjuangan panjangnya bermula. Ia tumbuh di lingkungan yang hangat, meskipun serba terbatas. Kebersamaan antarwarga dari berbagai suku menanamkan nilai-nilai persaudaraan dan toleransi yang kelak membentuk karakternya.

“Kami memang hidup pas-pasan, tapi lingkungan tempat saya tumbuh itu hangat dan menyenangkan. Orang tua saya juga selalu mengajarkan pentingnya bersosialisasi, menghormati tetangga, dan menjaga hubungan baik dengan siapa pun,” kenangnya.

Ayah dan ibunya adalah buruh tani. Sejak kecil, Sujiati akrab dengan ladang dan tanah sawah yang basah, menyaksikan langsung bagaimana kerja keras dan kesabaran menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Keterbatasan ekonomi tak pernah menyurutkan semangatnya untuk bersekolah. Ia bahkan sempat mendaftar ke SMA Negeri 2 Samarinda, namun takdir berkata lain. Kondisi keluarga memaksanya mengubur impian itu dalam-dalam.

“Saat itu saya tahu betul orang tua saya tak mampu. Daripada memaksa dan menambah beban, saya memilih berhenti sekolah dan membantu mereka bertani saja. Berat, tapi saya ikhlas,” ujarnya.

Namun, keterbatasan itu justru membentuknya menjadi pribadi yang tangguh. Sujiati tak pernah marah pada keadaan. Ia memilih jalan damai dengan realita dan mencari cara agar tetap bisa berguna bagi keluarganya. Di usia muda, ia mulai aktif membantu di sawah, menanam padi, hingga mengurus hasil panen.

Pada tahun 1991, Sujiati menikah dan tiga tahun kemudian dikaruniai anak pertama. Kehidupan sebagai ibu rumah tangga justru menyalakan kembali api semangatnya untuk mengejar mimpi yang sempat tertunda, yaitu pendidikan.

“Setelah punya anak, saya makin ingin sekolah. Tapi saya sadar, situasi saya tidak memungkinkan untuk sekolah formal. Jadi saya ambil jalur Paket C,” jelasnya.

Program pendidikan kesetaraan yang kala itu belum sepopuler sekarang, ia jalani dengan sepenuh hati setiap Sabtu dan Minggu selama hampir tiga tahun. Membagi waktu antara mengurus keluarga, bekerja, dan belajar, Sujiati akhirnya berhasil lulus. Dorongan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi pun muncul, namun lagi-lagi, keterbatasan waktu dan ekonomi keluarga membuatnya harus menunda mimpi itu.

Dari Pedagang Ting-Ting Jahe hingga Aktivis Wanita Tani

Untuk membantu perekonomian keluarga, Sujiati mulai berjualan sayur di pasar-pasar, dari Waru hingga Petung. Ia membawa dagangan milik orang lain, lalu membayarnya setelah laku. Bahkan, demi penghasilan tambahan, ia pernah mengangkat pasir ke atas mobil dengan upah hanya Rp 15.000.

“Tapi masa iya saya harus ke pasar terus? Kasihan anak, enggak keurus,” katanya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk memproduksi dan menjual makanan ringan buatannya sendiri, ting-ting jahe. Dengan dagangan di tangan dan senyum ramah di wajah, ia mulai memasarkannya ke berbagai kantor SKPD. Usaha kecil yang bermula dari dapur rumah itu perlahan berkembang. Bahkan, ia sempat mempekerjakan lima karyawan dan menjalankan produksi secara rutin selama setahun penuh.

“Ting-ting jahe itu berkembang. Satu bulan bisa jalan terus sampai satu tahun saya produksi,” ucapnya.

Namun, perjalanan Sujiati tak berhenti di balik pintu-pintu kantor tempat ia menawarkan jajanan. Justru dari sana, babak baru kehidupannya dimulai. Di tengah perjuangan mencari nafkah, Sujiati juga aktif dalam organisasi wanita tani. Ia dipercaya memimpin kelompok wanita tani dengan modal awal hanya Rp 29 ribu. Perlahan tapi pasti, kelompok binaannya berkembang hingga memiliki kas mencapai Rp 150 juta.

Sujiati tak hanya mengelola di atas kertas, tetapi juga benar-benar turun ke lapangan. Ia mendampingi petani, membantu penyusunan proposal bantuan, mendata kelompok tani dari desa ke desa, dan menjadi penghubung antara mereka dengan pemerintah daerah. Semua dilakukan secara sukarela, tanpa bayaran.

Jalan Tak Terduga Menuju Parlemen

Ketika ia diajak menjadi bagian dari tim sukses salah satu calon bupati saat itu, Pak Yusran, perlahan pintu dunia politik mulai terbuka. Kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif datang ketika partai membutuhkan nama untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Tawaran itu tidak langsung ia sambut dengan percaya diri. “Saya ini cuma ibu rumah tangga. Bisanya nyambel, nanam padi. Disuruh jadi anggota DPR? Saya bingung,” kenangnya.

Namun, Sujiati akhirnya menerima, bukan karena ambisi mengejar kekuasaan, melainkan karena dorongan dan kepercayaan orang-orang di sekelilingnya. Masyarakat ternyata mengenal dirinya jauh lebih dalam dari yang ia kira. Satu per satu suara mengalir, meskipun ia belum berhasil meraih kursi karena kalah suara dari Pak Sanusi. Kepercayaan yang diberikan masyarakat menjadi bekal yang tak ternilai.

Jalan hidupnya kembali membelok tak terduga. Ketika Pak Sanusi pindah partai, posisi kosong di partai politik yang menaunginya harus segera diganti. Dari sanalah, nama Sujiati dipilih dan akhirnya resmi dilantik sebagai anggota DPRD melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

“Saya enggak pernah sangka. Allah kasih rezeki dari arah yang saya enggak tahu. Saya jalani semuanya dengan ikhlas, dan ternyata dibalas dengan rezeki yang luar biasa,” ungkapnya.

Masa tugas pertamanya melalui jalur PAW hanya berlangsung sembilan bulan. Namun semangatnya belum padam. Ketika Pemilihan Legislatif 2019 kembali digelar, Sujiati kembali maju sebagai calon. Kali ini, ia terpilih secara penuh untuk masa bakti 2019–2024.

Meski telah duduk di kursi parlemen, Sujiati tak mengubah dirinya. Ia tetap menanam padi, tetap berkumpul dengan kelompok tani, tetap hadir ketika masyarakat memanggil, dan tetap pulang ke rumahnya untuk memasak, mencuci, dan menyapu. Ia tetap hadir di tengah masyarakat, seperti sebelumnya.

“Di kantor, saya anggota DPRD. Tapi di luar, saya pelayan rakyat. Kalau mereka panggil, dan saya bisa datang, saya datang,” tegasnya.

Baginya, bertani bukan sekadar kenangan masa lalu. Menanam padi adalah simbol keterlibatan nyata. Ia ingin para petani melihat bahwa dirinya bukan hanya bicara di balik mikrofon sidang, tapi benar-benar paham soal tanah, bibit, dan hasil panen.

“Saya ingin mereka percaya. Kalau saya bilang begini cara nanam, ini hasilnya, itu karena saya sudah melakukannya sendiri. Saya juga ingin mereka berkembang, ekonominya naik,” tambahnya.

Menjelang masa pencalonan kembali untuk periode 2024–2029, Sujiati menghadapi ujian terberat dalam hidupnya. Sang ayah, sumber inspirasi, teladan keteguhan, sekaligus cinta pertamanya, jatuh sakit. Ia memilih menepi dari hiruk-pikuk dunia politik dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk merawat sang ayah hingga akhir hayatnya.

“Waktu itu rasanya saya enggak kuat. Seperti kehilangan arah. Enggak ada semangat lagi. Kayaknya sudah cukup, enggak mau maju lagi,” ucapnya.

Namun, dukungan masyarakat tak pernah padam. Kepercayaan mereka yang terus mengalir menjadi cahaya baru dalam gelap kehilangan. Dengan langkah berat namun penuh harap, Sujiati kembali maju. Ia kembali terpilih untuk masa jabatan ketiganya, periode 2024–2029.

Kini, selain menjalankan peran sebagai wakil rakyat, Sujiati juga tengah mengejar satu impian lama yang sempat tertunda, yakni kuliah. Ia tercatat sebagai mahasiswa semester enam di Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Terbuka.

“Cita-cita saya dari dulu itu cuma satu: saya pengin kuliah. Alhamdulillah sekarang sudah semester enam. Saya bangga. Ini bukan soal gelar, tapi soal pembuktian diri,” katanya, tersenyum.

Bagi Sujiati, pendidikan adalah pondasi penting. Apalagi sebagai perempuan, ia percaya bahwa kaum wanita harus kuat, berani, dan mandiri. “Saya enggak setuju kalau perempuan harus di bawah laki-laki. Kita bisa setara. Apa yang laki-laki bisa, kita juga bisa. Kita enggak boleh cengeng. Harus kuat. Harus berani berkata ‘tidak’ saat kita benar. Dan harus tetap semangat. Enggak ada kata perempuan itu lemah,” tegasnya.

Sujiati bukan hanya bicara. Ia pernah terlibat aktif dalam isu sosial dan perlindungan perempuan, mendampingi korban KDRT dan pelecehan seksual melalui lembaga perlindungan perempuan dan anak. Ia tahu persis betapa pentingnya suara perempuan bukan hanya untuk bersuara, tapi untuk mendengarkan dan melindungi.

 

Wanita Hebat Lahir dari Ayah yang Kuat

Di balik seluruh perjuangan panjang yang membawanya hingga ke ruang sidang dewan, ada satu nama yang tak pernah lepas dari ingatan Sujiati, dia adalah sang ayah.

“Wanita hebat lahir dari ayah yang kuat.” Kalimat itu seolah menggambarkan sosok lelaki pertama yang menjadi panutannya. “Bapak itu enggak pernah mengeluh. Hidup seberat apa pun, beliau tetap bekerja. Bahkan kalau cuma dapat upah untuk makan hari itu, tetap disyukuri,” kenangnya.

Satu kenangan kecil yang tak pernah hilang dari ingatannya adalah saat sang ayah ikut bergotong royong membangun rumah tetangga. Ia diberi makan seadanya dengan tempe dan telur, namun tak dimakan di tempat. Justru lauk itu dibungkus dan dibawa pulang, untuk diberikan kepada anak-anaknya.

“Itu buat saya luar biasa. Bukti kasih sayang yang enggak banyak kata, tapi terasa dalam,” katanya.

Dari ayahnya, Sujiati belajar arti ketulusan, kerja keras, dan hidup yang dijalani dengan memberi manfaat bagi orang lain. Prinsip itulah yang terus ia pegang teguh, dalam mendampingi petani, dalam menyuarakan aspirasi masyarakat, hingga kini duduk sebagai wakil rakyat.

Maka ketika ayahnya berpulang di tahun politik, Sujiati dilanda keraguan. Ia hampir menyerah, merasa tak lagi sanggup melanjutkan perjuangan tanpa sosok sang ayah di sisinya.

“Tapi pesan Bapak selalu terngiang. Jangan patah hati, jangan kecil hati, jangan minder. Sekalipun kamu di bawah, InsyaAllah kamu mampu.” Ia bahkan tak kuasa menahan air mata, seolah kerinduan pada sosok ayah masih begitu nyata dalam setiap langkahnya.

Hari ini, Sujiati tetap berdiri tegak. Bukan sekadar sebagai satu-satunya perempuan di DPRD Penajam Paser Utara, melainkan sebagai simbol harapan bahwa ketulusan, pendidikan, dan kerja keras tak pernah mengkhianati hasil. Perjuangan panjang itu tidak hanya dimulai dari mimbar politik, tetapi dari ladang basah dan kasih seorang ayah.(*lov)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *