READIN.ID – PENAJAM – Dalam setiap perjalanan hidup, tak jarang seseorang harus menghadapi cibiran dan keraguan dari pihak lain. Namun, bagi sebagian orang, justru hal itulah yang menjadi bara pembakar semangat untuk membuktikan diri. Kisah inspiratif ini datang dari Abdul Rahman Wahid, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Penajam Paser Utara (PPU), yang tak luput dari pengalaman sering diremehkan.
“Bisa jadi apa kamu, emang bisa apa kamu?” kalimat itu masih terngiang jelas di benak Wahid. Bukan datang dari orang asing, melainkan dari salah satu orang terdekatnya. Sebuah pukulan telak yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi penusuk. Namun, perkataan meremehkan itu tidak membuat Wahid patah semangat. Sebaliknya, ia melangkah maju dengan tujuan yang matang, meyakinkan dirinya tentang masa depan yang akan datang.
“Semakin kita dijatuhkan kita harus semakin semangat dan jangan kendor, karena itu bagian dari lika-liku perjalanan kita,” tutur Wahid kepada jurnalis Readin.id pada Senin (21/7/2025).
Wahid mengakui, peran serta keluarganya sangat besar dalam membentuk masa depannya. Dukungan penuh dari orang tua dan istrinya adalah fondasi utama yang menguatkannya hingga bisa berada di titik sekarang.
“Saya dari keluarga yang bisa dibilang kurang dari segi finansial. Jadi, pas saya nyaleg, yang mensupport itu keluarga saya, orang tua saya, dan juga istri saya terutama,” ujarnya.
Dukungan itulah yang menjadikannya seorang petarung, menapaki jalan terjal, hingga akhirnya berhasil duduk di kursi DPRD.
Pengabdian dari Ruang Kelas hingga Kursi Politik
Menarik mundur ke masa lalu, Wahid pernah merasakan pahit getirnya menjadi guru honorer pada tahun 2013 di SMK Negeri 6 Sepaku. Dengan gaji yang sangat minim, hanya Rp 250.000 per bulan yang bahkan baru diterima setelah tiga bulan.
“Yah, dinikmati saja Rp 250.000. Itu 3 bulan baru dapat gaji. Pada waktu itu sekolahnya juga masih baru,” katanya.
Pengabdiannya sebagai pendidik berlangsung selama empat tahun di kampung halamannya sendiri. Sebuah dedikasi yang tidak sebentar untuk sekolah yang baru merintis.
Setelah mengabdi di dunia pendidikan, pada tahun 2017 ia beralih ke ranah penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menjadi Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kecamatan Sepaku. Namun, pada tahun 2019, Wahid memutuskan untuk keluar dari Bawaslu dan membulatkan tekad mencalonkan diri sebagai anggota dewan.
“Waktu itu, buat dana kampanye saja enggak ada, benar-benar dari keterlibatan orang-orang terdekat, keluarga sangat membantu,” ucapnya.
Perjalanan yang tentunya sangat panjang, bermula dari pemikiran matang yang membuatnya bertekad untuk mencalonkan diri, ditambah dukungan tak terbatas dari keluarga yang telah menaruh harapan besar padanya. Dengan restu orang tua dan keluarga kecilnya, ia melangkah maju, menerjang berbagai rintangan, dan akhirnya berhasil menduduki kursi DPRD Penajam Paser Utara (PPU) periode 2019-2025.
Masa Kecil Penuh Tanggung Jawab dan Pelajaran Hidup
Sebelum mencapai puncak karier politiknya saat ini, Wahid hanyalah seorang anak desa yang tumbuh di Sepaku. Ia sudah akrab dengan kerja keras sejak usia dini, merasakan pahit manisnya kehidupan yang menggemblengnya.
Ia bahkan sempat melakukan pekerjaan yang seharusnya belum menjadi tanggung jawab anak seusianya. “Memang didikan orang tua itu pada saat masih kecil, karena mungkin tinggal di kampung. Saya itu kalau enggak salah waktu itu mulai dari kecil sudah ikut dengan orang tua bertani dan berkebun, dan kalau enggak salah pas kelas 1 Sekolah Dasar (SD) saya sudah diberi tanggung jawab untuk pelihara sapi pada waktu itu,” kisahnya.
Seorang anak kecil yang baru duduk di bangku kelas 1 SD sudah memikul tanggung jawab sebesar itu, melakukan pekerjaan layaknya orang dewasa. Mengarit rumput dan mengumpulkannya setelah pulang sekolah menjadi rutinitas hariannya untuk memberi makan sapi peliharaannya.
Anggota Dewan yang kini dikenal itu, ternyata dulunya dididik dengan keras untuk mandiri mencari penghasilan sendiri.
“Dulu apa saja kita lakukan, biar bisa dapat uang jajan sendiri, ya kita kerja,” ucapnya.
Pengalaman itu dirasakannya sangat menyenangkan sekaligus berat, membentuk karakter Abdul Rahman Wahid yang kini dikenal sebagai pecinta warna putih dan penggemar makanan tradisional.
Wahid menempuh pendidikan SD dan SMP di Sepaku. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah di Balikpapan, tepatnya di Pesantren Al-Mujahidin. Kemudian, ia melanjutkan studinya di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, mengambil jurusan matematika.
Saat berkuliah, ia juga aktif mengikuti organisasi kampus. Menurutnya, hal itu penting untuk melatih mental. “Kalau aku pribadi sebenarnya enggak mau ribet, maunya yang simpel-simpel saja, karena kadang kita ngurusin diri kita aja masih susah, apalagi ngurusin yang lain, jadi organisasi kampus ajalah, namun itu juga baik untuk melatih mental,” ujarnya.
Baginya, seseorang tidak boleh membatasi diri untuk terus berkembang. Perkembangan bisa terjadi di mana saja, tergantung pada niat dan tindakan diri sendiri. Itu adalah kebebasan untuk berkembang di mana pun.
Pengalaman luar biasa dari seorang anak petani yang sempat diremehkan, namun mampu bangkit dari keterpurukan dan terus melangkah maju, hingga akhirnya berada di titik ini.
Wahid memiliki pesan sederhana namun mendalam bagi para penerus bangsa. “Selama kita bisa berbuat baik, berbuat baiklah, karena pasti kita akan dapat manfaatnya, walaupun terkadang menjadi baik juga tidak dianggap baik, tetaplah menjadi baik karena rencana Tuhan pasti akan datang,” tutupnya.
Itulah kisah Wahid, yang kini memiliki hobi jogging dan bermain bola. Ia tak pernah memasukkan hati setiap kritik yang datang, namun ia tetap melangkah dan memberikan bukti nyata serta membuahkan hasil yang baik hingga sekarang. (*saf)