Dari Nelayan Jadi Wakil Rakyat, Jamaluddin Mengabdi untuk PPU

oleh -211 Dilihat
oleh

READIN.ID – PENAJAM – Dari pesisir Tanjung Jumalai, tumbuhlah seorang anak nelayan bernama Jamaluddin. Lahir pada 2 Februari 1972, ia adalah bukti nyata bahwa tekad, kesabaran, dan prinsip hidup yang kokoh mampu menembus batas keadaan. Kisahnya bukan hanya tentang perjalanan pribadi, melainkan cerminan pengabdian tak henti untuk masyarakat Penajam Paser Utara (PPU).

Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Jamaluddin tumbuh dalam kesederhanaan. Ayahnya, Muharram Bin Mangile, adalah seorang nelayan di Saloloang, sementara sang ibu, Fatimang Binti Sunusi, mengurus rumah tangga. Empat kakaknya meninggal dunia di usia muda, menyisakan ia dan satu saudara kandung yang tumbuh bersama kedua orang tua.

Pendidikan dasar diselesaikannya pada 1985, disusul SMP pada 1988. Namun, jenjang pendidikan selanjutnya tak semulus yang dibayangkan. Jarak waktu yang panjang antara kelulusan SMP dan rencana SMA mencerminkan kondisi ekonomi keluarga yang memaksanya mengalah.

“Jenjang SMP dan SMA saya sangat jauh jaraknya. Waktu itu saya sudah sempat sekolah dua bulan [di STM Negeri Balikpapan], tapi akhirnya pulang karena orang tua sakit dan kakak juga sedang sekolah di STM Balikpapan. Jadi saya yang kembali pulang untuk menjaga orang tua,” ungkap Jamaluddin.

Ia pun kembali ke kampung halaman dan memilih pekerjaan sebagai nelayan, ikut berlayar di kapal orang lain, menantang ombak demi hasil laut yang bisa dijual. Tak berhenti di situ, ia juga sempat menjadi pemborong ikan dan cumi selama hampir setahun, menjelajahi kota-kota seperti Banjarmasin, Balikpapan, hingga Samarinda.

Salah satu capaian paling berkesan dalam hidupnya adalah merenovasi rumah keluarga yang dibangun sang ayah sejak 1932. Puluhan tahun berdiri seadanya, rumah tua itu akhirnya direnovasi pada 1991 setelah Jamaluddin dan keluarganya bertahun-tahun menabung dan bekerja keras.

“Itu saya bantu bangun, pelan-pelan. Tidak langsung jadi, karena memang tidak punya cukup uang pada saat itu,” ujarnya. Renovasi ini bukan sekadar memperbaiki bangunan, melainkan menambal kenangan dan perjuangan hidup keluarganya.

 

Merajut Perjuangan di Jalur Politik

Kiprah Jamaluddin di dunia politik bermula pada akhir 1999, ketika ia dipercaya menjadi bagian dari tim pemekaran wilayah. Keterlibatannya dalam proses penting ini membuka cakrawala baru. Ia bergabung dengan para tokoh yang mendorong lahirnya daerah baru, menjadi satu dari 58 anggota tim pemekaran. Kini, tersisa 51 anggota, dan dari seluruh wilayah pesisir Patung hingga garis pantai, hanya dirinya yang menjadi perwakilan.

Dua nama berjasa dalam membimbingnya adalah Haji Andi Harahap dan Said Hasim (almarhum), tokoh Golkar sekaligus mantan camat penghubung di Tanjung. Keduanya melihat bahwa wilayah pesisir membutuhkan suara dan representasi dalam proses pemekaran daerah.

Awalnya, Jamaluddin hanya menyimak. Namun, keterlibatannya yang terus berkembang menuntutnya menyesuaikan diri, termasuk dari segi pendidikan. Salah satu syarat pencalonan legislatif saat itu adalah ijazah setingkat SMA.

“Waktu itu saya belum punya ijazah SMA. Jadi kalau mau maju, ya harus punya. Makanya tahun 2000 saya ikut ujian persamaan di Sinjai,” katanya.

Ia mengikuti pendidikan kesetaraan demi memenuhi syarat pada Pemilu 2004. Kala itu, meski meraih suara terbanyak ketiga di partainya, ia belum lolos karena sistem pemilu masih menggunakan mekanisme nomor urut.

Barulah pada Pemilu 2009, ia kembali dipercaya partainya untuk maju, kali ini dari urutan kelima. Ia berhasil meraih lebih dari 1.200 suara dan menempati peringkat kedua terbanyak. Dengan partainya yang mendapatkan tiga kursi, ia pun resmi lolos ke DPRD PPU.

“Partai kami dapat tiga kursi. Alhamdulillah, saya lolos. Padahal saya enggak pernah punya cita-cita jadi politisi. Cita-cita saya dulu malah mau jadi pilot, tapi kandas karena keadaan,” ujarnya.

Hidup membawanya ke arah tak terduga: dari seorang nelayan, lalu bagian penting tim pemekaran, hingga kini menjadi wakil rakyat yang konsisten memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Mengabdi dengan Hati, Menyentuh Akar Rumput

Selama hampir dua dekade pengabdian di DPRD PPU, Jamaluddin, yang tumbuh dari keluarga nelayan dan petani, menjadikan seluruh pengalamannya sebagai fondasi perjuangan. Ada dua program yang paling ia banggakan: bantuan untuk nelayan dan pengadaan dana untuk kelurahan.

“Saya enggak mau dianggap ria, tapi memang itu faktanya,” katanya.

Sebagai mantan buruh nelayan, ia sangat memahami beratnya hidup di laut tanpa dukungan alat tangkap memadai. Maka, saat duduk di kursi legislatif, ia memperjuangkan agar anggaran tak hanya menyasar proyek besar, tetapi juga menyentuh kelompok kecil seperti nelayan dan petani.

“Dulu itu enggak ada bantuan berupa sarana-prasarana untuk nelayan atau petani. Saat saya duduk, saya mulai usulkan itu. Alhamdulillah, sampai sekarang program itu masih berjalan. Teman-teman DPR sekarang juga ikut melanjutkan. Kita bantu nelayan dengan mesin, kapal, alat tangkap. Dan itu benar-benar terasa manfaatnya,” jelasnya.

Selain itu, perjuangannya menghadirkan dana khusus untuk kelurahan menjadi tonggak penting. Saat desa mendapatkan Dana Desa (DD dan ADD), kelurahan justru nyaris tak memiliki anggaran pembangunan mandiri. Ketimpangan inilah yang memicunya bertindak.

“Saya merasa terpojok sebagai anggota DPR yang tinggal di Saloloang, tapi enggak bisa bantu pembangunan karena enggak ada dana. Jadi saya usulkan agar kelurahan juga punya dana belanja modal. Tahun 2012–2013 mulai jalan, 200 juta per kelurahan. Itu murni dari hasil temuan kami di lapangan,” paparnya.

Perjuangan tersebut terus ia lanjutkan meski kepala daerah berganti. Ia konsisten mendorong alokasi dana kelurahan tak hanya dipertahankan, tetapi juga ditingkatkan. Program itu kini dikenal sebagai PPMK (Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan).

“Sekarang kami dorong supaya minimal 500 juta per kelurahan. Jadi mereka bisa bangun tanpa harus nunggu dari APBD langsung,” ungkapnya.

Dua program bantuan untuk nelayan dan dana kelurahan sangat berarti baginya. Ia tak menilai keberhasilan dari besarnya anggaran, melainkan dari seberapa besar manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama mereka dari kalangan bawah.

“Saya enggak melihat dari besar-kecilnya program. Yang penting, masyarakat bisa merasakannya langsung. Kalau mereka merasa terbantu, itu sudah cukup buat saya,” tuturnya.

 

Tiga Prinsip Berharga Warisan Orang Tua

Dalam perjalanan hidupnya, Jamaluddin tak pernah lepas dari peran dan dukungan orang tuanya. Meski tak mewarisi harta benda, ia justru menerima tiga prinsip hidup yang ia anggap sebagai warisan paling berharga, nilai-nilai yang membentuk dirinya hingga hari ini, yaitu Berbuat tanpa mengharap penilaian, Kepercayaan bukan sesuatu yang bisa dibeli, melainkan hanya bisa diraih lewat kejujuran dan hidup membawa manfaat, Inilah inti dari akhlak pribadi yang tidak hanya hadir, tetapi juga memberi dampak positif bagi lingkungannya.

Tiga prinsip sederhana ini telah menjadi pedoman hidupnya sejak masa remaja, dari seorang buruh nelayan hingga kini mengemban amanah sebagai wakil rakyat.

Jamaluddin menikah di usia 22 tahun dengan Arfani, perempuan cantik berusia 20 tahun yang kini menjadi pendamping hidupnya. “Ibu pernah jadi tenaga honor selama 11 tahun jadi guru. Awalnya dari TU, lalu jadi guru. Kebetulan kami masih keluarga, jadi ketemu juga di Tanjung. Enggak ada kisah Romeo-Juliet sih. Cuma agak unik. Istri saya itu ponakan saya. Anak dari sepupu sekali saya,” ucapnya.

Kedekatan mereka bermula saat sang istri kembali ke Tanjung setelah tamat SMP dan tinggal di rumah keluarga Jamaluddin. Enam bulan setelah lulus SMA, ia pun melamarnya. Hubungan mereka dibangun di atas fondasi saling percaya, saling mendukung, dan berbagi nilai hidup yang sama.

Ketika ditanya tentang arti keberhasilan, Jamaluddin tak ingin dinilai sebagai orang sukses. Baginya, keberhasilan bukan soal jabatan atau pencapaian politik, melainkan kemampuan untuk melewati masa lalu dengan syukur dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai hidup yang diwariskan orang tua.

“Yang saya sampaikan ke diri saya di masa lalu itu pasti bahwa dengan apa yang ada sekarang ini, dan rentetan proses yang kita lalui, ya tentu saya berharap bahwa yang lalu itu kan ada hitam putihnya. Hitamnya tidak boleh dibuang, tapi dijadikan pengalaman untuk menyadarkan kita, supaya ke depan apa pun yang kita hasilkan itu betul-betul bernilai ibadah,” ujarnya.

Baginya, hidup bukan tentang pencitraan atau pujian, melainkan soal menjaga kejujuran, bisa dipercaya, dan memberi manfaat. Prinsip inilah yang menjadi fondasi dalam menjalani kehidupan, termasuk saat harus menerima kenyataan tidak terpilih kembali dalam pemilu.

“Saya jujur ketika saya pun tidak terpilih kembali karena saya ingin yang ketiga, seharusnya kalau terpilih kemarin kan yang keempat. Dan yang menyemangati saya itu tadi bahwa saya selalu menjalani apa adanya, dan mensyukuri apa yang ada,” pungkasnya.

Nilai-nilai ini pula yang ia wariskan kepada anak-anaknya. Ia percaya, dengan menjaga tiga hal yang ia pegang teguh serra tidak menuntut dinilai, bisa dipercaya, dan memberi manfaat—maka akhlak akan terjaga, dan kehidupan akan selalu punya arah.(*lov)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *